Senin, 26 November 2012


Sepasang Mata Bidadari

Tuhan. . .
          Ku titipkan dia pada-Mu. Aku mohon jaga dia. Aku sangat menyayanginya. Aku tak ingin siapa pun menyakitinya, sekecil apapun itu.
          Dan aku akan selalu menjaga mata ini, sampai nanti aku menjemput mu, kekasihku. .
***
Beruntungnya aku, sempat memilikimu dalam hidupku, walau hanya sekejap. Tapi aku bisa merasakan tulus cintamu kepadaku, dan ku yakin sebaliknya. Namun mengapa Tuhan harus mengambilmu dariku? Disaat kita harus menikmati kegembiraan ini bersama. Semua ini bermula ketika aku harus mengalami dengan kebutaan akibat kecelakaan yang ku alami. Kamu yang selalu menemaniku dan berjanji menjadi mataku selamanya. Namun, mengapa secepat ini maut merebutmu dariku?
Kepadamu pujaan hatiku, aku berjanji akan menjaga mata ini, sampai nanti aku menjemput mu.
***
#1 Sebuah Pertanyaan (Anna)
“Aku suka sama kamu.” katanya sontak mengaggetkanku “Kamu mau kasih aku kesempatan untuk jadi orang yang spesial dihidup kamu?”
“Apa yang kamu suka dari aku?” tanyaku polos.
“Aku nggak tau, tapi yang pasti aku sayang sama kamu, Na.”
“Lalu? Kenapa kamu bisa yakin sama aku. Kalau kamu sendiri nggak tau apa alasan kamu?”
“Aku memang nggak tau apa alasan aku, tapi yang aku tau, aku sayang banget sama kamu, Na.”
“Kenapa kamu bisa seyakin itu? Aku kenal kamu hanya sebatas teman, dan mungkin itu juga sebaliknya.”
“Kamu salah. Aku kenal kamu, lebih dari yang orang lain kenal tentang kamu. Aku tahu kamu, lebih dari yang orang lain tahu tentang kamu. Dan aku yakin itu, Anna. Jadi gimana, kamu mau kasih aku kesempatan itu?”
“A. . aku nggak tahu, Lang. Aku akan jawab pertanyaan kamu, kalau mata ku terbuka esok hari. Aku janji. . . “ jawabku seiring ku berlari meninggalkannya.
Bukan tanpa alasan aku memberi jawaban seperti itu. Yaa, aku bukanlah gadis biasa. Sejak aku kecil, aku divonis menderita kanker darah. Seperti diagnosa dokter, hidupku bisa kapan saja direnggut oleh penyakit itu. Tak ada kepastian berapa lama lagi hidupku, tapi yang pasti aku akan mati ketika penyakit ini mulai bosan dengan ku.
Aku tidak pernah sekalipun berpikir untuk jatuh cinta. Apalagi menjalin suatu hubungan. Aku takut membuatnya sedih. Karena aku tak mungkin bisa selalu menemaninya. Lalu dengan Elang? Bagaimana dengannya? Apa aku mencintainya? Jawabannya “Ya, aku mencintainya.”
***
#2 Menjawab Pertanyaan (Anna)
Keesokkan harinya.
Pagi ini aku masih bisa membuka mataku, aku masih hidup. Itu artinya aku akan menjawab pertanyaan Elang.
“Apa yang harus aku katakan pada Elang?” tanyaku bimbang.
Perasaan ku sangat bimbang, mau aku jawab apa pertanyaan Elang kemarin. Aku memang merasa nyaman bila di dekat Elang. Apa aku benar-benar mencintai Elang? Tapi bagaimana kalau nanti aku harus meninggalkannya? Ini yang ku takutkan, ketika aku harus merasakan cinta dalam bayang-bayang penyakitku. Tuhan, tolong aku, apa yang harus aku lakukan?
Siang setelah jam sekolah selesai, aku putuskan untuk mencari Elang di kelasnya. Kebetulan, kelas Elang persis di samping kelasku.
“Bimo, Elang masih di kelas kan??” tanyaku pada Bimo, teman sekelas Elang.
“Ada kok ada, tunggu sebentar aku panggilin.” Balasnya. “Elang!! Dicariin ama gebetan loe. Udah temuin sana! Keburu dia jamuran nungguin elu.” kutuk Bimo pada Elang, dengan sangat keras sehingga aku bisa mendengarnya, atau mungkin memang disengaja?
Aku menunggu Elang keluar kelas. Sementara di dalam terdengar heboh teman-teman Elang yang tengah asyik menggodainya, mungkin karena aku secara terang-terangan mencarinya. Tak beberapa lama kemudian, Elang keluar menemuiku.
“Ha. . . ha. . . hai Anna? U. . u. . . udah nunggu lama ya? Ma. . maaf ya?” katanya gagap, saking gugupnya.
“Hahahaha. . . kamu kenapa, Lang? Kok jadi gagap gitu? Memangnya aku ini hantu, sampa-sampai kamu takut, terus kamu jadi gagap gini?” sahut ku geli melihat kekonyolan tingkahnya.
“Bukan gitu. Ta. . . ta tapi agak grogi aja. hehehehe.” Tawanya ngeri “Ngomong-ngomong ada apa ya, Na?”
“Aku mau jawab pertanyaan kamu yang kemarin. Aku kan udah janji mau jawab pertanyaan kamu kalau mataku terbuka. Beruntungnya kamu, mata aku kebuka tadi pagi, jadi ya mau nggak mau aku harus jawab hehehe.”
“Jadi. . . . .?” ku lihat dia diserang keringat dingin
“Jadi. . . aku mau kasih kamu kesempatan itu, Elang.”
“Kamu serius, Anna? Kamu nggak salah ngomong kan?” Tanyanya memastikan. “Atau mungkin aku yang salah dengar?”
 “Enggak kok. Kita nggak ada yang salah. Aku nggak salah ngomong, dan kamu juga nggak salah dengar. Apa perlu aku ulangi lagi kalo aku. . .”
“Ohh nggak usah, nggak perlu diulang juga aku percaya kok. Tapi, ken. . . .”
“Karena aku yakin kamu bisa terima aku apa adanya. Dan kamu bisa jadi cinta pertama dan terakhir aku.”
“Pasti. Makasih Anna, kamu mau kasih aku kesempatan. Aku akan berusaha bikin kamu bahagia, aku nggak janji, tapi aku akan berusaha sebisa aku untuk selalu buat kamu bahagia.”
***
#3 Tingkah Konyol Elang (Anna)
Aku menerima cinta Elang. Ku lihat dia sangat bahagia. Sampai-sampai dia mulai lagi melakukan suatu kekonyolan yang membuatku mematung.
Elang berlari menerobos keributan sekolah pada waktu istirahat dan apa yang dia lakukan? Mengejutkan bagiku dan teman-teman yang ada di tempat itu.
 “Woiiiii semuanya, kalian semua perlu tahu, kalau Anna sekarang resmi jadi pacar gue.” Teriaknya tepat di tengah hiruk pikuk teman-teman, yang membuat aku malu setengah mati karena tingkahnya.
Puluhan pasang mata melirik ke arah kita berdua. Tapi nampaknya Elang tidak merasa malu mengorasikan kabar baik ini ke teman-teman. Justru dia bangga karena dia bisa menjadi kekasihku. Aku jadi merasa sedih, gimana kalau penyakitku ini merebutku darinya, apa dia masih berpikir untuk melakukan ini?
Sontak suasana sekolah waktu itu menjadi semakin ribut. Sorak-sorak ramai terdengar. Bahkan ada dari mereka yang menghampiriku dan memberi ucapan selamat padaku dan Elang. Bak artis papan atas ditengah penggemarnya.
“Anna, selamat ya, akhirnya kamu nerima Elang juga. Langgeng ya.”
“Anna, ikut seneng deh, akhirnya kalian jadian juga. Sesuai sama tebakan aku kan? Udah keliatan dari mata kalian, ada cinta gitu.”
“Anna, selamat yaa. Jangan lupa traktirannya.”
“Anna, akhirnya jadian juga sama Elang. Semoga langgeng ya, sampe kakek nenek. Sampe maut misahin kalian.”
Kalimat terakhir yang diucapkan itu lalu membuatku sedih. Aku merasa maut akan menjemputku tak lama lagi. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri mendengar kalimat-kalimat tadi. Ku nikmati saja ini semua. Ku lihat Elang juga sibuk dengan ucapan-ucapan dari teman-teman yang lain.
Sungguh, kalau bukan karena kekonyolan Elang, ini semua tak akan terjadi. “Elang, Elang, paling bisa bikin aku tersenyum.”
***
#4 Pacaran (Anna)
Sejak aku dan Elang resmi menjadi sepasang kekasih, hari-hari ku  tidak penah terasa sepi. Senang, sedih, susah, semuanya aku lalui bersama Elang. Dia banyak semangatin aku, begitu pun sebaliknya. Yah, sewajarnya orang pacaran, kita berdua juga makan bareng -walaupun cuma di kantin. Kita juga sering jalan-jalan, nonton film-film action - kita berdua sama-sama nafsu liat film action. Menurut kami, film action itu nggak menye-menye, nggak kebanyakan nangis ditiap adegannya, dan juga nggak harus teriak-teriak kalau hantunya muncul tiba-tiba.
Bukan cuma itu, tiap jam, menit, detik, kita selalu perhatiin HP. Kita tidak pernah merasa bosan smsan, dan juga telponan tiap menit. Dan hebatnya kita nggak pernah kehabisan topik, bahas tentang rencana malam minggu, perasaan kangen - padahal baru satu jam yang lalu kita berpisah-, nggak lupa tentang pelajaran, kita nggak mau karena sibuk pacaran, prestasi kita jadi menurun.
Dimata aku, Elang adalah sosok laki-laki yang dewasa, pintar, tampan, baik dan yang pasti bisa menerima ku apa adanya, bukan ada apanya.
***
Nggak terasa, hubungan aku sama Elang hampir 2 tahun. Dan selama itu, aku dan Elang nggak pernah punya masalah apapun. Jadi kami nggak pernah berantem, diem-dieman, atau ngambek-ngambekan. Ajaibnya lagi, aku masih hidup. Bahkan aku jarang mengeluh sakit lagi. Bukan, bukannya aku sembuh, penyakit itu tetap membayangiku.
Masalah penyakit ku, Elang nggak tau sedikit pun tentang penyakit ini. Aku sengaja tidak memberi tahunya. Karena akau nggak mau hubungan kami jadi dibayang-bayangi sama penyakit ini. Biar kan Elang tahu, kalau memang waktunya tepat, dan aku berharap dia bisa nerimanya.
***

#5 Tragedi (Anna)
Hari ini rencanya Elang akan menjemputku, kita akan makan malam berdua. Aku dandan secantik-cantiknya buat Elang.
Aku tunggu Elang dengan sabar. 1 menit. . . 10 menit. . . 30 menit. . . 45 menit. . . 1 jam. . . 2 jam. . .
“Kemana sih Elang? Udah molor 2 jam nggak datang-datang juga. HP nya aku telponin juga nggak aktif. Kemana sih dia “ gumamku sendiri yang merasa khawatir.
Tiba-tiba telpon rumah berdering.
Kriiiing. . . kriiiiing. . . kriiiing
“Hallo selamat malam. Apakah benar ini sdri. Annalise?” sapa seorang wanita dari sebrang sana kepadaku.
“Iya benar. Maaf, saya bicara dengan siapa?”
“Kami dari petugas Rumah Sakit Harapan. Kami ingin mengabarkan bahwa teman adik bernama Elang Dewanto sedang kami rawat, karena mengalami kecelakaan. Dan hanya nomor adik yang dapat kami hubungi. Bila adik tidak keberatan, dimohon bisa datang ke Rumah Sakit un. . . .”
“Saya segera ke sana.”
Tut. . tut. . tut
***
Di Rumah Sakit.
Beberapa waktu kemudian setelah aku sampai di rumah sakit, aku melihat Elang terbaring lemah di tempat tidur beraroma alcohol dan obat-obatan, terlihat selembar kain halus putih melingkar di kepala dan menutupi matanya. Aku dekati dia, ku dekap tangannya. Berusaha menenangkannya dan menemaninya.
“Aku di sini. Kamu tenang ya, aku di sini buat kamu, Elang.” Bisikku padanya.
 Kecelakaan itu membuat Elang tak dapat melihat lagi. Kabarnya ada pecahan kaca yang mengenai matanya, dan membuatnya buta. Aku bisa merasakan bagaimana rasa hancurnya perasaan Elang ketika dia tau bahwa dia tak bisa melihat lagi. Saat itu juga aku berjanji, aku akan selalu menjadi mata untuk Elang.
“Anna . . ?” panggilnya  resah.
“Aku di sini, Elang.” jawabku sambil sesegukan menahan tangisku.
“Ada apa sih ini? Mati listrik ya? Anna? Kamu kenapa? Pipi kamu basah? Kamu menangis? Siapa yang berani bikin kamu nangis? Bilang sama aku.” tanyanya bertubi-tubi sambil menyentuh pipiku seraya menghapus air mataku.
“Aku janji, Elang. Aku akan jadi mata buat kamu selamanya. Kamu jangan khawatir.”
“Memangnya aku kenapa?”
“Ka. . . kamu?”
“Kenapa, Na. Bilang sama aku, aku kenapa?”
“Kamu kecelakaan, dan karena kecelakaan itu, kamu. . . . .”
“Iya, lalu apa yang terjadi?”
“Kamu nggak bisa lihat lagi.” Jelasku sambil menagis.
“Apa? Maksud kamu aku buta? Nggak mungkin, kamu pasti bohong kan, Na?”
Aku tidak lagi menjelaskannya itu, aku manangis melihatnya. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa Tuhan, kenapa Kau berikan penderitaan ini pada Elang?
“Aku janji, Elang, aku akan jadi mata buat kamu. Aku janji.”
“Oooh, aku nggak apa-apa kok.” Katanya mencoba tegar. “Tapi aku takut, Na.”
“Takut apa?” Tanyaku yang masih menangis.
“Aku takut kamu tinggalin aku, karena aku buta. Aku nggak seperti dulu lagi.”
“Enggak! Aku nggak akan tinggalin kamu. Aku akan temenin kamu, dan aku janji, aku akan jadi mata buat kamu. Kita hadapi semuanya bareng-bareng.” Jelasku “Aku janji aku akan selalu ada buat kamu. Mata ini akan jadi mata kamu juga, Elang.”
“Kamu yakin? Aku sayang kamu, Na.”
***
Aku berusaha tepatin janjiku. Aku selalu ada dimana ada Elang. Kita tetep lakuin rutinitas kita seperti biasa. Tetap jalan, nonton -walaupun Elang cuma ngerti waktu aku ceritain ulang. Hampir nggak ada yang berubah sama cara pacaran kita.
Sampai suatu saat, penyakit aku kambuh. Darah yang terus keluar dari hidungku. Kepala ku rasanya sangat berat. Dan mataku berkunang-kunang. Semua terasa kabur dari pandangan. Aku lemas. Lalu semuanya gelap.
***
#6 Penyakit Ini Datang Lagi (Anna)
Aku coba buka mataku perlahan-lahan. Aku ada di sebuah ruangan bernuansa putih, banyak tabung oksigen, selang infus bergantung dan menempel pada tanganku. Ditambah aroma yang meyakinkan bahwa ini pasti rumah sakit. Di samping ku terlihat mama yang menunggu ku entah berapa lama, sampai-sampai beliau tertidur di samping ku.
Elang? Bagaimana dengan Elang? Apa dia baik-baik aja? Aku nggak tau kabar dia gimana?
“Mama, mama, mama, ma bangun ma…”
“Anna sayang, kamu udah sadar, sayang? Kamu sekarang di rumah sakit, nak. Semalam penyakit kamu kambuh. Sekarang gimana keadaan kamu? Apa yang kamu rasain?” tanya mama.
“Ma, gimana kabar Elang? Aku kangen Elang, ma.”
“Anna, dengerin mama. Kamu sekarang fokusin buat kesembuhan kamu dulu. Mama yakin Elang akan baik-baik aja. Kamu harus sembuh nak.”
“Ma, apa mama yakin aku bisa sembuh? Penyakit ini bukan penyakit biasa , ma. Aku bisa bertahan berapa lama lagi sama penyakit ini, ma? Aku capek dipermainkan sama penyakit ini.”
“Kamu jangan pernah katakan kalimat itu lagi, Anna. Mama mau kamu sembuh, dan kamu pas. . .”
“Ma, Anna nggak mungkin sembuh, ma. Satu-satunya jalan Anna buat sembuh, Anna harus ngalah sama penyakit Anna.”
“Kamu rela tinggalin mama sendirian, sayang?” air mata mulai menetes dari mata mama.
“Ma, suatu saat Anna akan pergi, ma. Mama nggak boleh egois, ma.”
“Anna, kamu ini ngomong apa sih? Jangan seperti itu.”
“Ma, harapan aku sembuh itu kecil, ma. Bahkan bisa jadi nggak ada harapan sama sekali. Tapi aku mau mama turutin permintaan aku. Mama mau ya, ma. Ini permintaan terakhir aku, ma.”
“Apa itu sayang? Mama akan berusaha kabulin permintan kamu.”
“Tolong, mama kasih mata aku, buat Elang, ma. Biar mata ini untuk Elang. Aku berjanji untuk selalu jadi mata buat Elang. Dan dengan cara ini aku bisa tepatin janji aku. Mama mau kan?”
“Tapi, nak? Apa kamu yakin? Bagaimana kalau kamu sembuh? Kamu pasti butuh mata itu.”
“Mamaaa, waktu ku nggak banyak, ma. Aku mohon, buat aku, ma.”
“Kalau memang itu yang terbaik dan bikin kamu senang, mama nggak bisa berbuat apa-apa.” Kata mama sambil memelukku.
***
#7 Aku Mau Elang Sembuh (Anna)
Dua minggu lamanya tidak ada komunikasi antara aku dan Elang. Aku rindu padanya. Aku juga mau  memberi kabar gembira kalau sebentar lagi Elang akan sembuh, dia bisa melihat lagi seperti dulu. Tanpa pikir panjang segera ku tarik gagang telpon dan menghubunginya.
 “Hallo, Elang. Maaf aku nggak kabarin kamu beberapa hari ini. Aku harus pulang ke rumah orang tua ku. Jadi aku nggak sempat hubungin kamu. Aku juga cari-cari donor kornea yang cocok buat kamu. Dan kamu tahu? Ada seorang wanita yang cocok korneanya sama kamu.” jelasku panjang lebar.
“Iya nggak apa-apa kok, yang penting kamu nggak kenapa-kenapa kan?” jawabnya lega “Oiya, bukannya orang yang jadi donor kornea itu nggak gampang? Kalau korneanya didonorin ke aku, gimana caranya dia lihat? Dia nggak bisa lihat dong, Na?
“Kamu nggak usah kawatir. Kata dokter, wanita itu ternyata mengidap kanker darah, jadi waktu dia untuk hidup nggak akan lama lagi. Jadi kamu bisa pakai kornea dia.”
“Kasihan banget, Na? Apa itu bukan bahagia diatas penderitaan orang lain? Aku nggak mau rebut kebahagiaan orang lain, Na.”
“Enggak kok. Pokoknya kamu harus sembuh. Aku mau kamu sembuh. Kamu lakuin ini buat aku, kamu mau kan?”
Sebenernya kalau dia tau wanita itu aku, pasti dia nggak akan terima kornea itu. Aku mau tepati janji aku, buat selalu jadi mata buat dia. Dan dengan cara inilah, ku akan selalu jadi mata dia.
“Pokoknya, 3 hari lagi kamu datang ke Rumah Sakit Harapan, kamu operasi di sana. Aku udah ada di sana kok, dihari itu kamu harus udah bisa lihat, aku mau kamu sembuh kayak dulu lagi. Aku juga mau bilang ke kamu Elang, aku sayang sama kamu, aku bahagia kalau kamu bahagia.”
Ku letakkan gagang telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Elang. Ini adalah pertemuan terakhir ku sama Elang. Aku harap dia akan selalu bahagia walau tak bersama ku.  Aku menangis.
***
3 hari kemudian
Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan buat Elang. Karena hari ini dia bisa melihat lagi.
 Semenjak komunikasi terakhirku dengan Elang, kondisiku semakin memburuk. Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Bayang-bayang kematian seakan hinggap dan tinggal menunggu waktu.
Mama bilang, Elang ada di Rumah Sakit ini. Aku ingin sekali menemuinya, tapi keadaan ku sangat tidak memungkinkan. Keadaan ku melemah, benar-benar lemah. Rasanya mata ini tak mau terbuka lagi, jantung ini tak mau berdegup lagi, dan nyawa ini tak mau melekat lagi. Sebelum itu terjadi, aku hanya bisa berbisik. Menitipkan kerinduan ku pada Elang ke Mama.
“Mama, Anna sayang Elang.”
***
#8 Aku Bisa Melihat Lagi (Elang)
5 jam kemudian setelah aku selesai operasi.
Aku merasakan lagi adanya kain halus, sama seperti yang aku pakai dulu. Apakah ini berhasil? Apa aku bisa lihat lagi?
Kain itu dilepaskan perlahan. Setelah semua lepas, dokter mengintruksikan aku fokus disatu tatapan. Dan waow, berhasil. Aku bisa lihat lagi, mata ku normal lagi seperti dulu. Tapi, yang berhasil aku lihat di ruangan itu hanya dokter, 2 suster, dan Bimo. Kemana Anna?
Menurut cerita Bimo memang dia nggak lihat Anna dari tadi. Di hanya melihat mamanya Anna. Mama Anna menitipkan sebuah surat yang nggak tahu isinya apa, untuk ku. Anehnya, kata Bimo, mama Anna kasih surat itu sambil nangis.
“Gimana keadaan loe? Asik, loe udah bisa liat lagi sekarang. Loe sembuh, Lang. selamat ya, gue sebagai sahabat loe ikutan seneng kalo sembuh.” Kata Bimo.
“Iya gue bisa lihat lagi. Terima kasih Tuhan, gue sembuh. Anna mana? Kenapa dia nggak ada di sini nemenin gue?”
“Tadi, gue dititipin ini nih dari mamanya Anna. Anehnya, mamanya Anna kasih ini sambil nangis gitu. Abis gue terima, dia langsung pergi, dan nggak bilang apa-apa.” jelas Bimo.
Ya Tuhan, dimana Anna? Tiba-tiba aku ingat hari ini tepat 2 tahun jadian kita. Apa dia lupa kalau hari ini ulang tahun pacaran kita yang ke 2?
Setelah kondisiku memungkinkan, aku pulang. Aku memutuskan buka surat itu di rumah, tanpa tahu dimana Anna.
***
#9 Penyesalan Ku (Elang)
Setelah sampai rumah, aku buka surat itu. Aku baca kata per kata. Seketika aku lemas.
Jadi pendonor kornea ini Anna? Kenapa Anna nggak pernah cerita sama aku tentang penyakit dia? Dia menderita kanker darah sejak umurnya masih sangat amat belia? Artinya waktu pertama kalinya kita jadian dia sudah? Aku mulai sadar, dulu dia bilang, dia akan jawab pertanyaan aku kalau mata dia terbuka di esok hari. Jadi maksudnya? Kenapa ini harus terjadi?
Aku menyesal, aku marah sama diriku sendiri karena nggak bisa jaga Anna.
“Aku janji, aku akan jaga mata ini. Tapi kenapa kamu lakuin ini, Anna?” rintih ku.
***
#10 Anna Hidup Di Mata Ku (Elang)
1 tahun kemudian
Sejak kejadian itu, aku belum bisa melupakan Anna. Bahkan , aku malah ingat semua kata-kata dia yang sebenarnya itu pertanda untukku. Dia bilang bahwa aku cinta pertama dan terakhirnya. Lalu disaat terakhir kali dia menelepon aku, dia bilang bahwa dia sangat menyayangi ku. Dan akan bahagia bila aku bahagia.
Setiap waktu luang, aku selalu mengunjungi makam Anna untuk mendoakannya. Aku masih bisa merasakan bahwa Anna masih di sampingku. Dia masih hidup, dia tersimpan dalam mata ini. Mata yang selalu membuat ku dan Anna selalu dekat. Aku berjanji Anna, aku akan jaga mata ini, sama seperti aku berusaha menjaga mu. Semoga Anna bahagia di sana. Amin.
***
Surat Terakhir Anna untuk Elang.
Dear Elang
Maaf, Elang.
Aku tau, kamu pasti marah sama aku, karena aku nggak pernah cerita tentang penyakit aku. Tapi aku lakuin itu karena aku sayang sama kamu, dan aku nggak mau bikin kamu tambah sedih setelah kamu harus menghadapi cobaan yang berat ini. Makanya aku sengaja rahasiakan ini dari kamu. Dan aku udah buat keputusan untuk kasih sepasang mata ini buat kamu, aku tau kamu lebih butuh mata ini. Hidup kamu masih panjang, sedangkan aku? Aku mau kamu selalu jaga mata itu, karena dari mata itu kita akan selalu bersama, Elang. Ya. . . Anna dan Elang.
Happy birthday untuk kita, aku nggak tau aku bisa laluin 2 tahun terindah dihidup aku ini sama kamu. Kamu udah berhasil jadi yang spesial dihidup aku. Kamu juga berhasil jadi cinta pertama dan terakhir buat aku.
Aku bahagia asal kamu bahagia. Kalau kamu jaga mata itu, sama artinya kamu jaga aku.
Annalise Putri









Karya : Anggitan Pramesti R.K/SMM YK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar