Sepasang Mata Bidadari
Tuhan. . .
Ku titipkan dia pada-Mu. Aku mohon jaga dia. Aku sangat
menyayanginya. Aku tak ingin siapa pun menyakitinya, sekecil apapun itu.
Dan aku akan selalu menjaga mata ini, sampai nanti aku
menjemput mu, kekasihku. .
***
Beruntungnya
aku, sempat memilikimu dalam hidupku, walau hanya sekejap. Tapi aku bisa merasakan
tulus cintamu kepadaku, dan ku yakin sebaliknya. Namun mengapa Tuhan harus
mengambilmu dariku? Disaat kita harus menikmati kegembiraan ini bersama. Semua
ini bermula ketika aku harus mengalami dengan kebutaan akibat kecelakaan yang
ku alami. Kamu yang selalu menemaniku dan berjanji menjadi mataku selamanya. Namun,
mengapa secepat ini maut merebutmu dariku?
Kepadamu
pujaan hatiku, aku berjanji akan menjaga mata ini, sampai nanti aku menjemput
mu.
***
#1 Sebuah Pertanyaan (Anna)
“Aku
suka sama kamu.” katanya sontak mengaggetkanku “Kamu mau kasih aku kesempatan
untuk jadi orang yang spesial dihidup kamu?”
“Apa
yang kamu suka dari aku?” tanyaku polos.
“Aku
nggak tau, tapi yang pasti aku sayang sama kamu, Na.”
“Lalu?
Kenapa kamu bisa yakin sama aku. Kalau kamu sendiri nggak tau apa alasan kamu?”
“Aku memang
nggak tau apa alasan aku, tapi yang aku tau, aku sayang banget sama kamu, Na.”
“Kenapa
kamu bisa seyakin itu? Aku kenal kamu hanya sebatas teman, dan mungkin itu juga
sebaliknya.”
“Kamu
salah. Aku kenal kamu, lebih dari yang orang lain kenal tentang kamu. Aku tahu
kamu, lebih dari yang orang lain tahu tentang kamu. Dan aku yakin itu, Anna.
Jadi gimana, kamu mau kasih aku kesempatan itu?”
“A. .
aku nggak tahu, Lang. Aku akan jawab pertanyaan kamu, kalau mata ku terbuka
esok hari. Aku janji. . . “ jawabku seiring ku berlari meninggalkannya.
Bukan
tanpa alasan aku memberi jawaban seperti itu. Yaa, aku bukanlah gadis biasa.
Sejak aku kecil, aku divonis menderita kanker darah. Seperti diagnosa dokter,
hidupku bisa kapan saja direnggut oleh penyakit itu. Tak ada kepastian berapa
lama lagi hidupku, tapi yang pasti aku akan mati ketika penyakit ini mulai
bosan dengan ku.
Aku
tidak pernah sekalipun berpikir untuk jatuh cinta. Apalagi menjalin suatu
hubungan. Aku takut membuatnya sedih. Karena aku tak mungkin bisa selalu
menemaninya. Lalu dengan Elang? Bagaimana dengannya? Apa aku mencintainya?
Jawabannya “Ya, aku mencintainya.”
***
#2 Menjawab Pertanyaan (Anna)
Keesokkan
harinya.
Pagi
ini aku masih bisa membuka mataku, aku masih hidup. Itu artinya aku akan
menjawab pertanyaan Elang.
“Apa
yang harus aku katakan pada Elang?” tanyaku bimbang.
Perasaan
ku sangat bimbang, mau aku jawab apa pertanyaan Elang kemarin. Aku memang merasa
nyaman bila di dekat Elang. Apa aku benar-benar mencintai Elang? Tapi bagaimana
kalau nanti aku harus meninggalkannya? Ini yang ku takutkan, ketika aku harus
merasakan cinta dalam bayang-bayang penyakitku. Tuhan, tolong aku, apa yang
harus aku lakukan?
Siang
setelah jam sekolah selesai, aku putuskan untuk mencari Elang di kelasnya. Kebetulan,
kelas Elang persis di samping kelasku.
“Bimo,
Elang masih di kelas kan??” tanyaku pada Bimo, teman sekelas Elang.
“Ada
kok ada, tunggu sebentar aku panggilin.” Balasnya. “Elang!! Dicariin ama
gebetan loe. Udah temuin sana! Keburu dia jamuran nungguin elu.” kutuk Bimo
pada Elang, dengan sangat keras sehingga aku bisa mendengarnya, atau mungkin
memang disengaja?
Aku
menunggu Elang keluar kelas. Sementara di dalam terdengar heboh teman-teman
Elang yang tengah asyik menggodainya, mungkin karena aku secara terang-terangan
mencarinya. Tak beberapa lama kemudian, Elang keluar menemuiku.
“Ha. .
. ha. . . hai Anna? U. . u. . . udah nunggu lama ya? Ma. . maaf ya?” katanya
gagap, saking gugupnya.
“Hahahaha.
. . kamu kenapa, Lang? Kok jadi gagap gitu? Memangnya aku ini hantu, sampa-sampai
kamu takut, terus kamu jadi gagap gini?” sahut ku geli melihat kekonyolan
tingkahnya.
“Bukan
gitu. Ta. . . ta tapi agak grogi aja. hehehehe.” Tawanya ngeri “Ngomong-ngomong
ada apa ya, Na?”
“Aku
mau jawab pertanyaan kamu yang kemarin. Aku kan udah janji mau jawab pertanyaan
kamu kalau mataku terbuka. Beruntungnya kamu, mata aku kebuka tadi pagi, jadi
ya mau nggak mau aku harus jawab hehehe.”
“Jadi.
. . . .?” ku lihat dia diserang keringat dingin
“Jadi.
. . aku mau kasih kamu kesempatan itu, Elang.”
“Kamu
serius, Anna? Kamu nggak salah ngomong kan?” Tanyanya memastikan. “Atau mungkin
aku yang salah dengar?”
“Enggak kok. Kita nggak ada yang salah. Aku
nggak salah ngomong, dan kamu juga nggak salah dengar. Apa perlu aku ulangi
lagi kalo aku. . .”
“Ohh
nggak usah, nggak perlu diulang juga aku percaya kok. Tapi, ken. . . .”
“Karena
aku yakin kamu bisa terima aku apa adanya. Dan kamu bisa jadi cinta pertama dan
terakhir aku.”
“Pasti.
Makasih Anna, kamu mau kasih aku kesempatan. Aku akan berusaha bikin kamu
bahagia, aku nggak janji, tapi aku akan berusaha sebisa aku untuk selalu buat
kamu bahagia.”
***
#3 Tingkah Konyol Elang (Anna)
Aku
menerima cinta Elang. Ku lihat dia sangat bahagia. Sampai-sampai dia mulai lagi
melakukan suatu kekonyolan yang membuatku mematung.
Elang
berlari menerobos keributan sekolah pada waktu istirahat dan apa yang dia
lakukan? Mengejutkan bagiku dan teman-teman yang ada di tempat itu.
“Woiiiii semuanya, kalian semua perlu tahu,
kalau Anna sekarang resmi jadi pacar gue.” Teriaknya tepat di tengah hiruk
pikuk teman-teman, yang membuat aku malu setengah mati karena tingkahnya.
Puluhan
pasang mata melirik ke arah kita berdua. Tapi nampaknya Elang tidak merasa malu
mengorasikan kabar baik ini ke teman-teman. Justru dia bangga karena dia bisa
menjadi kekasihku. Aku jadi merasa sedih, gimana kalau penyakitku ini merebutku
darinya, apa dia masih berpikir untuk melakukan ini?
Sontak
suasana sekolah waktu itu menjadi semakin ribut. Sorak-sorak ramai terdengar.
Bahkan ada dari mereka yang menghampiriku dan memberi ucapan selamat padaku dan
Elang. Bak artis papan atas ditengah penggemarnya.
“Anna,
selamat ya, akhirnya kamu nerima Elang juga. Langgeng ya.”
“Anna,
ikut seneng deh, akhirnya kalian jadian juga. Sesuai sama tebakan aku kan? Udah
keliatan dari mata kalian, ada cinta gitu.”
“Anna,
selamat yaa. Jangan lupa traktirannya.”
“Anna,
akhirnya jadian juga sama Elang. Semoga langgeng ya, sampe kakek nenek. Sampe
maut misahin kalian.”
Kalimat
terakhir yang diucapkan itu lalu membuatku sedih. Aku merasa maut akan
menjemputku tak lama lagi. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri mendengar
kalimat-kalimat tadi. Ku nikmati saja ini semua. Ku lihat Elang juga sibuk
dengan ucapan-ucapan dari teman-teman yang lain.
Sungguh,
kalau bukan karena kekonyolan Elang, ini semua tak akan terjadi. “Elang, Elang,
paling bisa bikin aku tersenyum.”
***
#4 Pacaran (Anna)
Sejak aku
dan Elang resmi menjadi sepasang kekasih, hari-hari ku tidak penah terasa sepi. Senang, sedih, susah,
semuanya aku lalui bersama Elang. Dia banyak semangatin aku, begitu pun
sebaliknya. Yah, sewajarnya orang pacaran, kita berdua juga makan bareng -walaupun
cuma di kantin. Kita juga sering jalan-jalan, nonton film-film action - kita
berdua sama-sama nafsu liat film action. Menurut kami, film action itu nggak
menye-menye, nggak kebanyakan nangis ditiap adegannya, dan juga nggak harus
teriak-teriak kalau hantunya muncul tiba-tiba.
Bukan
cuma itu, tiap jam, menit, detik, kita selalu perhatiin HP. Kita tidak pernah
merasa bosan smsan, dan juga telponan tiap menit. Dan hebatnya kita nggak
pernah kehabisan topik, bahas tentang rencana malam minggu, perasaan kangen -
padahal baru satu jam yang lalu kita berpisah-, nggak lupa tentang pelajaran, kita
nggak mau karena sibuk pacaran, prestasi kita jadi menurun.
Dimata
aku, Elang adalah sosok laki-laki yang dewasa, pintar, tampan, baik dan yang
pasti bisa menerima ku apa adanya, bukan ada apanya.
***
Nggak
terasa, hubungan aku sama Elang hampir 2 tahun. Dan selama itu, aku dan Elang
nggak pernah punya masalah apapun. Jadi kami nggak pernah berantem,
diem-dieman, atau ngambek-ngambekan. Ajaibnya lagi, aku masih hidup. Bahkan aku
jarang mengeluh sakit lagi. Bukan, bukannya aku sembuh, penyakit itu tetap
membayangiku.
Masalah
penyakit ku, Elang nggak tau sedikit pun tentang penyakit ini. Aku sengaja
tidak memberi tahunya. Karena akau nggak mau hubungan kami jadi dibayang-bayangi
sama penyakit ini. Biar kan Elang tahu, kalau memang waktunya tepat, dan aku
berharap dia bisa nerimanya.
***
#5
Tragedi (Anna)
Hari
ini rencanya Elang akan menjemputku, kita akan makan malam berdua. Aku dandan
secantik-cantiknya buat Elang.
Aku
tunggu Elang dengan sabar. 1 menit. . . 10 menit. . . 30 menit. . . 45 menit. .
. 1 jam. . . 2 jam. . .
“Kemana
sih Elang? Udah molor 2 jam nggak datang-datang juga. HP nya aku telponin juga
nggak aktif. Kemana sih dia “ gumamku sendiri yang merasa khawatir.
Tiba-tiba
telpon rumah berdering.
Kriiiing.
. . kriiiiing. . . kriiiing
“Hallo
selamat malam. Apakah benar ini sdri. Annalise?” sapa seorang wanita dari
sebrang sana kepadaku.
“Iya
benar. Maaf, saya bicara dengan siapa?”
“Kami
dari petugas Rumah Sakit Harapan. Kami ingin mengabarkan bahwa teman adik
bernama Elang Dewanto sedang kami rawat, karena mengalami kecelakaan. Dan hanya
nomor adik yang dapat kami hubungi. Bila adik tidak keberatan, dimohon bisa
datang ke Rumah Sakit un. . . .”
“Saya
segera ke sana.”
Tut. .
tut. . tut
***
Di
Rumah Sakit.
Beberapa
waktu kemudian setelah aku sampai di rumah sakit, aku melihat Elang terbaring
lemah di tempat tidur beraroma alcohol dan obat-obatan, terlihat selembar kain
halus putih melingkar di kepala dan menutupi matanya. Aku dekati dia, ku dekap
tangannya. Berusaha menenangkannya dan menemaninya.
“Aku
di sini. Kamu tenang ya, aku di sini buat kamu, Elang.” Bisikku padanya.
Kecelakaan itu membuat Elang tak dapat melihat
lagi. Kabarnya ada pecahan kaca yang mengenai matanya, dan membuatnya buta. Aku
bisa merasakan bagaimana rasa hancurnya perasaan Elang ketika dia tau bahwa dia
tak bisa melihat lagi. Saat itu juga aku berjanji, aku akan selalu menjadi mata
untuk Elang.
“Anna
. . ?” panggilnya resah.
“Aku
di sini, Elang.” jawabku sambil sesegukan menahan tangisku.
“Ada
apa sih ini? Mati listrik ya? Anna? Kamu kenapa? Pipi kamu basah? Kamu
menangis? Siapa yang berani bikin kamu nangis? Bilang sama aku.” tanyanya bertubi-tubi
sambil menyentuh pipiku seraya menghapus air mataku.
“Aku
janji, Elang. Aku akan jadi mata buat kamu selamanya. Kamu jangan khawatir.”
“Memangnya
aku kenapa?”
“Ka. .
. kamu?”
“Kenapa,
Na. Bilang sama aku, aku kenapa?”
“Kamu
kecelakaan, dan karena kecelakaan itu, kamu. . . . .”
“Iya, lalu
apa yang terjadi?”
“Kamu nggak
bisa lihat lagi.” Jelasku sambil menagis.
“Apa? Maksud
kamu aku buta? Nggak mungkin, kamu pasti bohong kan, Na?”
Aku tidak
lagi menjelaskannya itu, aku manangis melihatnya. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa
Tuhan, kenapa Kau berikan penderitaan ini pada Elang?
“Aku
janji, Elang, aku akan jadi mata buat kamu. Aku janji.”
“Oooh,
aku nggak apa-apa kok.” Katanya mencoba tegar. “Tapi aku takut, Na.”
“Takut
apa?” Tanyaku yang masih menangis.
“Aku
takut kamu tinggalin aku, karena aku buta. Aku nggak seperti dulu lagi.”
“Enggak!
Aku nggak akan tinggalin kamu. Aku akan temenin kamu, dan aku janji, aku akan
jadi mata buat kamu. Kita hadapi semuanya bareng-bareng.” Jelasku “Aku janji
aku akan selalu ada buat kamu. Mata ini akan jadi mata kamu juga, Elang.”
“Kamu
yakin? Aku sayang kamu, Na.”
***
Aku
berusaha tepatin janjiku. Aku selalu ada dimana ada Elang. Kita tetep lakuin
rutinitas kita seperti biasa. Tetap jalan, nonton -walaupun Elang cuma ngerti
waktu aku ceritain ulang. Hampir nggak ada yang berubah sama cara pacaran kita.
Sampai
suatu saat, penyakit aku kambuh. Darah yang terus keluar dari hidungku. Kepala
ku rasanya sangat berat. Dan mataku berkunang-kunang. Semua terasa kabur dari
pandangan. Aku lemas. Lalu semuanya gelap.
***
#6
Penyakit Ini Datang Lagi (Anna)
Aku
coba buka mataku perlahan-lahan. Aku ada di sebuah ruangan bernuansa putih, banyak
tabung oksigen, selang infus bergantung dan menempel pada tanganku. Ditambah
aroma yang meyakinkan bahwa ini pasti rumah sakit. Di samping ku terlihat mama
yang menunggu ku entah berapa lama, sampai-sampai beliau tertidur di samping
ku.
Elang?
Bagaimana dengan Elang? Apa dia baik-baik aja? Aku nggak tau kabar dia gimana?
“Mama,
mama, mama, ma bangun ma…”
“Anna
sayang, kamu udah sadar, sayang? Kamu sekarang di rumah sakit, nak. Semalam
penyakit kamu kambuh. Sekarang gimana keadaan kamu? Apa yang kamu rasain?” tanya
mama.
“Ma,
gimana kabar Elang? Aku kangen Elang, ma.”
“Anna,
dengerin mama. Kamu sekarang fokusin buat kesembuhan kamu dulu. Mama yakin Elang
akan baik-baik aja. Kamu harus sembuh nak.”
“Ma,
apa mama yakin aku bisa sembuh? Penyakit ini bukan penyakit biasa , ma. Aku
bisa bertahan berapa lama lagi sama penyakit ini, ma? Aku capek dipermainkan
sama penyakit ini.”
“Kamu
jangan pernah katakan kalimat itu lagi, Anna. Mama mau kamu sembuh, dan kamu
pas. . .”
“Ma, Anna
nggak mungkin sembuh, ma. Satu-satunya jalan Anna buat sembuh, Anna harus
ngalah sama penyakit Anna.”
“Kamu
rela tinggalin mama sendirian, sayang?” air mata mulai menetes dari mata mama.
“Ma,
suatu saat Anna akan pergi, ma. Mama nggak boleh egois, ma.”
“Anna,
kamu ini ngomong apa sih? Jangan seperti itu.”
“Ma,
harapan aku sembuh itu kecil, ma. Bahkan bisa jadi nggak ada harapan sama
sekali. Tapi aku mau mama turutin permintaan aku. Mama mau ya, ma. Ini
permintaan terakhir aku, ma.”
“Apa
itu sayang? Mama akan berusaha kabulin permintan kamu.”
“Tolong,
mama kasih mata aku, buat Elang, ma. Biar mata ini untuk Elang. Aku berjanji
untuk selalu jadi mata buat Elang. Dan dengan cara ini aku bisa tepatin janji
aku. Mama mau kan?”
“Tapi,
nak? Apa kamu yakin? Bagaimana kalau kamu sembuh? Kamu pasti butuh mata itu.”
“Mamaaa,
waktu ku nggak banyak, ma. Aku mohon, buat aku, ma.”
“Kalau
memang itu yang terbaik dan bikin kamu senang, mama nggak bisa berbuat
apa-apa.” Kata mama sambil memelukku.
***
#7
Aku Mau Elang Sembuh (Anna)
Dua
minggu lamanya tidak ada komunikasi antara aku dan Elang. Aku rindu padanya.
Aku juga mau memberi kabar gembira kalau
sebentar lagi Elang akan sembuh, dia bisa melihat lagi seperti dulu. Tanpa pikir
panjang segera ku tarik gagang telpon dan menghubunginya.
“Hallo, Elang. Maaf aku nggak kabarin kamu
beberapa hari ini. Aku harus pulang ke rumah orang tua ku. Jadi aku nggak
sempat hubungin kamu. Aku juga cari-cari donor kornea yang cocok buat kamu. Dan
kamu tahu? Ada seorang wanita yang cocok korneanya sama kamu.” jelasku panjang
lebar.
“Iya
nggak apa-apa kok, yang penting kamu nggak kenapa-kenapa kan?” jawabnya lega “Oiya,
bukannya orang yang jadi donor kornea itu nggak gampang? Kalau korneanya
didonorin ke aku, gimana caranya dia lihat? Dia nggak bisa lihat dong, Na?
“Kamu
nggak usah kawatir. Kata dokter, wanita itu ternyata mengidap kanker darah,
jadi waktu dia untuk hidup nggak akan lama lagi. Jadi kamu bisa pakai kornea dia.”
“Kasihan
banget, Na? Apa itu bukan bahagia diatas penderitaan orang lain? Aku nggak mau
rebut kebahagiaan orang lain, Na.”
“Enggak
kok. Pokoknya kamu harus sembuh. Aku mau kamu sembuh. Kamu lakuin ini buat aku,
kamu mau kan?”
Sebenernya
kalau dia tau wanita itu aku, pasti dia nggak akan terima kornea itu. Aku mau
tepati janji aku, buat selalu jadi mata buat dia. Dan dengan cara inilah, ku
akan selalu jadi mata dia.
“Pokoknya,
3 hari lagi kamu datang ke Rumah Sakit Harapan, kamu operasi di sana. Aku udah
ada di sana kok, dihari itu kamu harus udah bisa lihat, aku mau kamu sembuh
kayak dulu lagi. Aku juga mau bilang ke kamu Elang, aku sayang sama kamu, aku
bahagia kalau kamu bahagia.”
Ku
letakkan gagang telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Elang. Ini adalah
pertemuan terakhir ku sama Elang. Aku harap dia akan selalu bahagia walau tak
bersama ku. Aku menangis.
***
3 hari
kemudian
Hari
ini adalah hari yang paling membahagiakan buat Elang. Karena hari ini dia bisa
melihat lagi.
Semenjak komunikasi terakhirku dengan Elang,
kondisiku semakin memburuk. Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Bayang-bayang
kematian seakan hinggap dan tinggal menunggu waktu.
Mama
bilang, Elang ada di Rumah Sakit ini. Aku ingin sekali menemuinya, tapi keadaan
ku sangat tidak memungkinkan. Keadaan ku melemah, benar-benar lemah. Rasanya
mata ini tak mau terbuka lagi, jantung ini tak mau berdegup lagi, dan nyawa ini
tak mau melekat lagi. Sebelum itu terjadi, aku hanya bisa berbisik. Menitipkan
kerinduan ku pada Elang ke Mama.
“Mama,
Anna sayang Elang.”
***
#8
Aku Bisa Melihat Lagi (Elang)
5 jam
kemudian setelah aku selesai operasi.
Aku
merasakan lagi adanya kain halus, sama seperti yang aku pakai dulu. Apakah ini
berhasil? Apa aku bisa lihat lagi?
Kain
itu dilepaskan perlahan. Setelah semua lepas, dokter mengintruksikan aku fokus
disatu tatapan. Dan waow, berhasil. Aku bisa lihat lagi, mata ku normal lagi
seperti dulu. Tapi, yang berhasil aku lihat di ruangan itu hanya dokter, 2
suster, dan Bimo. Kemana Anna?
Menurut
cerita Bimo memang dia nggak lihat Anna dari tadi. Di hanya melihat mamanya Anna.
Mama Anna menitipkan sebuah surat yang nggak tahu isinya apa, untuk ku.
Anehnya, kata Bimo, mama Anna kasih surat itu sambil nangis.
“Gimana
keadaan loe? Asik, loe udah bisa liat lagi sekarang. Loe sembuh, Lang. selamat
ya, gue sebagai sahabat loe ikutan seneng kalo sembuh.” Kata Bimo.
“Iya
gue bisa lihat lagi. Terima kasih Tuhan, gue sembuh. Anna mana? Kenapa dia
nggak ada di sini nemenin gue?”
“Tadi,
gue dititipin ini nih dari mamanya Anna. Anehnya, mamanya Anna kasih ini sambil
nangis gitu. Abis gue terima, dia langsung pergi, dan nggak bilang apa-apa.”
jelas Bimo.
Ya
Tuhan, dimana Anna? Tiba-tiba aku ingat hari ini tepat 2 tahun jadian kita. Apa
dia lupa kalau hari ini ulang tahun pacaran kita yang ke 2?
Setelah
kondisiku memungkinkan, aku pulang. Aku memutuskan buka surat itu di rumah,
tanpa tahu dimana Anna.
***
#9
Penyesalan Ku (Elang)
Setelah
sampai rumah, aku buka surat itu. Aku baca kata per kata. Seketika aku lemas.
Jadi
pendonor kornea ini Anna? Kenapa
Anna nggak pernah cerita sama aku tentang penyakit dia? Dia menderita kanker
darah sejak umurnya masih sangat amat belia? Artinya waktu pertama kalinya kita
jadian dia sudah? Aku mulai sadar, dulu dia bilang, dia akan jawab pertanyaan aku
kalau mata dia terbuka di esok hari. Jadi maksudnya? Kenapa ini harus terjadi?
Aku
menyesal, aku marah sama diriku sendiri karena nggak bisa jaga Anna.
“Aku
janji, aku akan jaga mata ini. Tapi kenapa kamu lakuin ini, Anna?” rintih ku.
***
#10
Anna Hidup Di Mata Ku (Elang)
1
tahun kemudian
Sejak
kejadian itu, aku belum bisa melupakan Anna. Bahkan , aku malah ingat semua
kata-kata dia yang sebenarnya itu pertanda untukku. Dia bilang bahwa aku cinta
pertama dan terakhirnya. Lalu disaat terakhir kali dia menelepon aku, dia
bilang bahwa dia sangat menyayangi ku. Dan akan bahagia bila aku bahagia.
Setiap
waktu luang, aku selalu mengunjungi makam Anna untuk mendoakannya. Aku masih
bisa merasakan bahwa Anna masih di sampingku. Dia masih hidup, dia tersimpan
dalam mata ini. Mata yang selalu membuat ku dan Anna selalu dekat. Aku berjanji
Anna, aku akan jaga mata ini, sama seperti aku berusaha menjaga mu. Semoga Anna
bahagia di sana. Amin.
***
Surat
Terakhir Anna untuk Elang.
Dear
Elang
Maaf,
Elang.
Aku
tau, kamu pasti marah sama aku, karena aku nggak pernah cerita tentang penyakit
aku. Tapi aku lakuin itu karena aku sayang sama kamu, dan aku nggak mau bikin
kamu tambah sedih setelah kamu harus menghadapi cobaan yang berat ini. Makanya
aku sengaja rahasiakan ini dari kamu. Dan aku udah buat keputusan untuk kasih
sepasang mata ini buat kamu, aku tau kamu lebih butuh mata ini. Hidup kamu
masih panjang, sedangkan aku? Aku mau kamu selalu jaga mata itu, karena dari mata
itu kita akan selalu bersama, Elang. Ya. . . Anna dan Elang.
Happy
birthday untuk kita, aku nggak tau aku bisa laluin 2 tahun terindah dihidup aku
ini sama kamu. Kamu udah berhasil jadi yang spesial dihidup aku. Kamu juga
berhasil jadi cinta pertama dan terakhir buat aku.
Aku
bahagia asal kamu bahagia. Kalau kamu jaga mata itu, sama artinya kamu jaga
aku.
Annalise
Putri
Karya : Anggitan Pramesti R.K/SMM YK